Jumat, 17 Juli 2020

Rumah di Malang itu 2 Kali Ditabrak Kereta ‘Hantu’


Rumah di Malang itu 2 Kali Ditabrak Kereta ‘Hantu’


Kota Malang, Jawa Timur, pernah dihebohkan dengan kejadian kereta yang tiba-tiba bisa berjalan sendiri tanpa awak pada Selasa (4/12/2010).

Peristiwa yang menggegerkan warga Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Kedungkandang, Kota Malang itu terjadi sekitar pukul 13.15 WIB. Empat rangkaian dari Kereta Api (KA) Eksekutif Gajayana jurusan Jakarta-Malang, tiba-tiba berjalan sendiri, sampai akhirnya menabrak tiga rumah di bantaran rel.

Kejadian ini bermula saat KA dari Stasiun Gambir Jakarta, tiba di perhentian terakhirnya, Stasiun Kota Baru, Malang, sekitar pukul 11.55 WIB. Kereta ini terdiri dari lokomotif, satu rangkaian makan, satu rangkaian pembangkit, dan tujuh rangkaian penumpang.

Humas PT Kereta Api Indonesia Daop VIII Surabaya, Sri Winarto mengatakan, setelah penumpang turun semua, kereta lalu langsir guna diparkir di jalur ’4’.

”Jalur ini adalah jalur mati, dan hanya digunakan untuk memperbaiki, atau membersihkan kereta sebelum berangkat lagi,” kata Winarto, ditemui di Stasiun Kota Baru, Malang.

Di jalur tersebut, sejumlah teknisi lalu melaksanakan tugas mereka, memperbaiki dan membersihkan kereta tersebut. Masih menurut Winarto, petugas lalu menjalankan prosedur keamanan, dengan memutus sambungan lokomotif dan rangkaian.

”Sambungan antara rangkaian nomor lima, dengan rangkaian nomor enam, juga diputus. Hal itu dilakukan karena ada beberapa perbaikan di rangkaian tersebut, antara lain mengganti karet yang ada di sambungan rangkaian, dan masalah kelistrikan,” ujar Winarto.

Nah, saat dalam masa perbaikan ini, empat rangkaian paling belakang, tiba-tiba berjalan sendiri. Winarto mengaku dirinya memang belum memeriksa kronologis peristiwa yang sebenarnya terjadi, namun, sejumlah teknisi yang dimintai keterangan memastikan, tidak ada satupun teknisi yang berada di dalam empat rangkaian tersebut.

Para teknisi kemarin juga mengaku, sudah melakakan semua standar operasional keamanan, termasuk memberi kereta stop block, atau ganjalan khusus yang digunakan untuk menghambat roda kereta saat berhenti.

”Setidaknya itu pengakuan mereka. Tapi lebih pastinya, petugas KNKT (Komisi Nasional Keselamatan Transportasi) masih melakukan pemeriksaan secara terperinci,” urai Winarto.

Kereta itu akhirnya terus berjalan, menempuh jarak 2,5 kilometer sampai Stasiun Kotalama, hingga akhirnya ’dipaksa’ berhenti di sana. Petugas signal di stasiun tersebut, Achmad Suyuthi, lalu membelokkan rel yang dilintasi kereta itu.

”Tujuannya, agar kereta bisa menabrak spoor-box,” terang Suyuthi kepada sejumah polisi. Spoor-box adalah semacam beton yang dipasang di ujung rel mati. Fungsinya, memang untuk ditabrakkan kereta yang tidak bisa berhenti.

Keputusan membelokkan kereta ke spoor-box ini memang sebuah prosedur standar. Menurut Suyuthi, kalau saja kereta itu tidak ditabrakkan spoor-box, akibatnya bisa lebih fatal. Kereta bisa terus bergerak liar, dan bisa ditabrak kereta lain yang datang dari arah selatan.

Kereta memang akhirnya berbelok dan menabrak beton tebal tersebut. Namun, laju dan beban empat rangkaian tersebut nyatanya terlalu kuat untuk ditahan.

Keempat rangkaian itu terus melaju, hingga akhirnya menerjang tiga rumah warga di bantaran rel. Tiga rumah yang punya alamat resmi Jl Simpang Peltu Sujono RT11/RW3, Kelurahan Ciptomulyo, Kecamatan Sukun itu antara lain milik Misno (46), Jamil (70), dan Sutrisno (50).

Rumah milik Misno dan Jamil hancur rata dengan tanah. Sementara rumah milik Sutrisno, yang baru saja direnovasi karena putrinya akan mantu bulan Maret 2011 ini, rusak berat.

Nahas, kejadian ini makan korban jiwa. Anak Misno, Muhammad Nur Rosyid (2), tewas diterjang kereta. Sebelum tabrakan terjadi, tiga dari lima anak Misno, yakni Johan Pribadi (20), M Nur Rosyid (2), serta M Risky (1), masih tidur di rumah tersebut.

”Semua berhasil lolos dari kejadian ini, kecuali Rosyid, Ia tidak sempat dievakuasi,” kata Agus. Johan, kakak Rosyid, masih terlihat syok dengan kejadian ini. Ia sendiri mengaku terbangun dari tidur gara-gara mendengar adiknya, Risky menangis.

”Begitu terbangun, saya dengar orang-orang sudah pada teriak. Saya lalu hanya sempat selamatkan Risky,” ujarnya dengan nada lirih.

Dari keterangan keluarga Misno, Rosyid meninggal bukan karena tergencet. Debu dan pasir dari reruntuhan rumah, memenuhi saluran pernafasannya hingga mengalami infeksi.

Yang menarik, peristiwa kereta menabrak rumah di perkampungan bantaran rel Stasiun Kota Lama ini bukanlah yang pertama. Tahun 2005, rangkaian rangkaian tangki dari Depo Jagalan, juga menerjang rumah warga.

Makin menarik, karena yang ditabrak pun sama, yakni rumah Misno. Ketika itu, bibi Misno, Rupiatin (56), mengalami luka berat di kaki, yang dideritanya sampai sekarang.

”Karena kejadian kedua kalinya ini, kami sudah putuskan untuk tidak lagi tinggal di situ selamanya,” kata H Abdul Mujib, alias Abah Ateng, kakak Misno.

Abdul Mujib sendiri menyadari, seperti apa bahaya dan resiko tinggal di bantaran rel. Namun, ia menolak tegas tudingan rumah yang ditinggali adiknya itu adalah hunian liar.

”Tahun 1975, tanah itu saya beli Rp 2 juta dari PJKA, lalu saya bangun rumah. Ada bukti hitam di atas putihnya. Semua warga di situ juga beli tanah itu,” kata pemilik bengkel bubut ini.

Namun, ucapan Misno ini dibantah oleh Sri Winarto. ”Logikanya, tanah PT KAI itu tanah negara. Kita memang bisa menyewakannya sementara waktu, tapi tidak pernah bisa menjualnya. Setelah tabrakan 2005, kita sebenarnya sudah mensosialisasikan kepada warga di kawasan kecelakaan, agar segera pindah,” ungkap Winarto.

Kapolres Kota Malang, AKBP Agus Salim mengatakan, ada kemungkinan peristiwa yang makan korban jiwa ini disebabkan kelalaian seseorang. Namun, pihaknya masih akan menunggu hasil penyelidikan yang dibuat oleh KNKT.

Bagaimana kereta itu berjalan, masih membuat bingung sejumlah pihak, termasuk Sri Winarto sendiri. Ia mengatakan, kereta memang sangat mungkin berjalan dari Stasiun Kota Baru ke Stasiun Kotalama.

Pasalnya, kondisi geografis Kota Baru memang lebih tinggi dari Kotalama. Kota Baru berada di ketinggian 444 dpl (di atas permukaan laut), sementara Kotalama berada di ketinggian 429 dpl. ”Yang buat saya bingung, bukan bagaimana kereta itu bisa berjalan kesana. Tapi apa yang membuatnya berjalan,” cetusnya.

Kejadian ini juga membuat penumpang KA Gajayana yang menuju Jakarta keleleran di Stasiun Kota Baru. Kereta, harus terlambat satu setengah jam lebih, karena menunggu gerbong pembangkit pengganti dari Surabaya.

Sementara dua dari empat rangkaian ’hantu’ ini sudah ditarik. Dua rangkaian dengan mudah ditarik karena masih berada di rel. Sementara evakuasi dua gerbong lain, harus menunggu kereta crane dari Solo, karena posisinya sudah di luar rel dan masuk ke reruntuhan rumah. (dan/kompas)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar